Pertanyaan dari novel Pada Sebuah Kapal oleh NH Dini

Unit 1
1. Siapakah tokoh utama di dalam bab ini?
2. Pada umur berapakah Sri pada saat ayahnya meninggal dunia?
3. Apakah yang membuat ibu Sri sangat bangga terhadap Sri?

Unit 2

1. Apakah yang membuat Sri diterima di pekerjaan nya sebagai penyiar radio
2. Mengapa Sri tetap bersikeras pergi ke Jakarta untuk bekerja?
3. Apakah Sri percaya bahwa berjualan patung atau hasil lukisan bisa membuahkan uang yang banyak?

Unit 3

1. Dimanakah Sri pada saat ibu nya meninggal dunia?
2. Apakah penulis mendeskripsikan dengan jelas tentang bagaimana Sri pergi ke luar kota?
3. Mengapa Sri tidak menyukai Yus?

Unit 4

1. Jelaskan pendekatan antara Carl dan Sri pada bab ini.
2. Apakah yang ada di pikiran Sri pada saat dia memikirkan tentang memiliki hubungan dengan lelaki berkewarganegaraan lain?
3. Apakah Sri mulai menyukai Saputro? Jelaskan bagaimana penulis menciptakan hal ini? Percakapan, konflik internal, atau apa?

Unit 5

1. Mengapa Sri merasa telah mengenal Saputro lebih jauh pada bab ini?
2. Mengapa Sri merasa direndahkan dan disakiti oleh Narti?
3. Jelaskan proses Saputro meminang Sri.

Unit 6

1. Jelaskan apa saja yang sudah dipersiapkan Sri untuk pernikahannya.
2. Jelaskan perasaan Sri setelah mendengar bahwa calon suaminya, Saputro, telah gugur di Bandung.
3. Bagaimanakah Carl menyikapi perasaan Sri?

Unit 7

1. Mengapa Sutopo sangat kesal saat mendengar bahwa Sri menikahi Charles Vincent?
2. Hal apakah yang diketahui oleh Sri pada saat Sri dan suaminya pindah ke Jepang? Jelaskan.
3. Jelaskan perasaan Sri setelah suaminya berubah menjadi orang yang terkasar yang pernah ia kenal? Jelaskan bagaimana Sri menanggapinya.

Unit 8

1. Mengapa Sri sudah sama sekali tidak peduli tentang suaminya pada saat suami nya akan pergi sendiri ke India?
2. Apakah Sri menemukan lelaki yang menurutnya menarik di kapal?
3. Apakah yang Sri rasakan setelah berdansa dan berpelukan dengan lelaki tersebut?

Unit 9

1. Apakah Sri masih berpikir untuk setia pada suaminya pada saat lelaki itu mendekatinya?
2. Apa yang dikatakan Sri kepada lelaki itu pada saat akan berpisah dengan lelaki tersebut?
3. Jelaskan bagaimana Sri merasa damai pada saat ia melihat muka anaknya?

Unit 10

1. Apakah Charles masih tetap kasar terhadap Sri?
2. Aspek apakah yang dipikirkan oleh Sri pada unit ini? Jelaskan
3. Apakah Sri merasa kesepian? Mengapa?

Published in: on September 15, 2009 at 4:37 am  Leave a Comment  

Unsur intrinsik pada novel Pada Sebuah Kapal oleh N.H Dini

Di bab 7, Sri pun menikahi Charles Vincent. NH Dini menyimpulkan bahwa Sri tidak meminta ijin dari keluarganya, yang membuat Ia terkesan pemberontak, dan cuek terhadap kata-kata yang terlontar dari keluarganya. Di bab ini pun tertulis ”Dan apalagi uang akan kau kerjakan dengan kewarganegaraanmu, kau seorang penari, dan kau penari tanah airmu.” Kalimat ini dilontarkan oleh Sutopo yang menentang keras pernikahan Sri dan Charles. Kalimat ini menyimpan unsur nasionalisme yang terselubung. Sutopo mengatakan bahwa dengan kewarganegaraan Sri yaitu Indonesia, Ia tidak patut untuk menikah dengan seorang yang berkewarganegaraan asing.

Tema
Tema di dalam cerita ini kurang lebih menceritakan tentang perasaan seorang perempuan (Sri) di dalam kesehariannya diantara keluarga, hubungannya dengan dunia luar, speperti dengan teman-temannya, dan juga kisah percintaan yang dialaminya. Bisa dijebut juga roman/romansa.

Latar
Latar pada novel ini berganti serining beralurnya cerita. Sri berkunjung ke Semarang. Jakarta, Perancis, Jepang, dan beberapa kota lainnya. Walaupun demikian, hampir setengah bagian dari buku ini menjelaskan tentang keseharian Sri di kapal.

Latar social
Pada awal cerita, Sri mencertiakan tentang masa kecilnya, yang berlanjut dengan ceritanya menikah, kapal, dan hidupnya sebagai ibu. Di bab 7, Sri pun menikahi Charles Vincent. NH Dini menyimpulkan bahwa Sri tidak meminta ijin dari keluarganya, yang membuat Ia terkesan pemberontak, dan cuek terhadap kata-kata yang terlontar dari keluarganya. Di bab ini pun tertulis ”Dan apalagi uang akan kau kerjakan dengan kewarganegaraanmu, kau seorang penari, dan kau penari tanah airmu.” Kalimat ini dilontarkan oleh Sutopo yang menentang keras pernikahan Sri dan Charles. Kalimat ini menyimpan unsur nasionalisme yang terselubung. Sutopo mengatakan bahwa dengan kewarganegaraan Sri yaitu Indonesia, Ia tidak patut untuk menikah dengan seorang yang berkewarganegaraan asing.

Alur Cerita dan Konflik
Konflik eksternal terjadi pada Sri ketika Ia memutuskan untuk bekerja menjadi pramugari, tetapi gagal karena sakit. Konflik lainnya pun menyusul dan juga membuat cerita lebih menarik. Alur cerita masih membicarakan tentang penari, dan kehidupannya saat masih gadis. Alur cerit aberubah menjadi semakin menarik dan seru ketika romans nya dimulai.
Konflik yang mengambil tempat disini yaitu adalah antara Sri dan Sutopo, tetapi juga konflik internal yang ada di pikiran Sri. BUkan ahanya perdebatannya dengan Sutopo saja, melainkan juga Sri tetap ber argumentasi dengan pikirannya sendiri.

Tokoh
Tokoh utama pada novel ini adalah narrator, yaitu Sri sendiri. Ia dikelilingi oleh berbagai macam tokoh dan penokohannya masing-masing. Contohnya, Charles yang antagonis, Narti dan Michel sebagai teman dekatnya yang hanya muncul beberapa kali dalam novel ini.
Sangat terlihat bahwa Sri adalah perempuan yang tangguh dan bisa menerima konsekuensi nya sendiri. Di halaman 117 dikatakan ”Aku akhirnya berkata bahwa aku yang akan kawin. Aku sanggup menerima segala akibatnya seorang diri.”. Terdengar sangat berani, Sri sepertinya benar-benar keras kepala untuk menikahi Charles.

Amanat
Amanat yang saya dapatkan dari cerit aini adalah bahwa belum tentu kita mengenal orang yang kita kenal, dalam artian bahwa tidak ada batas waktu yang ditentukan untuk mengetahui seluruh seluk-beluk karakter orang. COntohnya, Sri berpikiran bahwa suaminya sangat lebut, baik, dan pengertian, tetapi tidak lama setalah menikah, Ia menyadari bahwa suaminya berubah menjadi kasar dan cepat marah.
Amanat kedua yang saya dapatkan setalah membaca novel ini juga adalah bagaimana kultur bisa memisahkan kepercayaan ataupun kebiasaan dari pasangan. Karena kultur yang berbeda, dan suami Sri baru mengetahuinya, makanya Ia berubah.
Di cerita ini disebutkan bahwa Sri akhirnya pindaj ke Jepang bersama suaminya, Charles. Dan pula ia mengandung. Pada suatu hari ia menyesal akan menikahi Charles, sebab Charles tidak dapat menahan emosinya. Pesan moral yang saya dapatkan adalah bahwa terkadang tidak sepenuhnya kita mengenal orang, walaupun sepertinya suda sangat akrab sekali, karena setiap orang mempunyai sifat yang berbeda, yang mungkin orang lai ntidak tahu, yang bisa berakibat buruk.

Sudut Pandang
SUdut pandang yang digunakan dalam novel ini adalah sudut pandang pertama. Narator di dalam cerita ini adalah Sri, sebagai tokoh utama. Jadi kita sebagai pembaca tidak terlalu tahu apa yang Sri rasakan sepenuhnya, karena terkadang Ia tidak menceritakannya. Mungkin inilah apa yang penulis inginkan, bahwa pembaca hanya mengetahui Sri secara terbatas.

Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan penulis untuk menulis cerita ini sebenarnya bukanlah bahasa yang rumit. Penulisa menggunakan kata-kata dan struktur kalimat yang meruapakan dialog sehari-hari.

Published in: on September 15, 2009 at 4:36 am  Leave a Comment  

Keluarga besar yang mempunyai beragam sifat di dalam novel Pada Sebuah Kapal

Sejauh ini (unit 1), saya belum menemuka n apapun yang janggal dari cerita ini. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada hal yang menarik. Saya menemukan banyak hal yang muncul di permukaan setelah saya membacanya. Saya bertanya-tanya mengapa taman kebun rumah nya sangat signifikan? Dan apakah ada realsi diantara keharmonisan keluarga dan taman tersebut?

Pada saat saya membaca unit 1 ini, saya bisa membayangkan bagaimana anggota keluarga mempunyai berbagai macam sifat dan perilaku. Sangat terbaca dari cerita ini bahwa keluarga Sri sangat terpengaruh oleh adat-istiadat Jawa. Setelah saya membaca unit 1 ini, saya menyadari bahwa alur cerita di novel ini, demikian pula jalan ceritanya, selalu berpatokan kepada sang almarhum ayah Sri yang telah meninggal dunia pada saat Ia berumur 13 tahun, dan juga kebun yang mereka punya.

Tata bahasa yang digunakan oleh penulis sangat sederhana, walaupun kebanyakan diksi yang dipakai adalah bahasa yang baku. Terkadang saya butuh dua kali untuk akhirnya mengerti arti dari sebuah kalimat. Sri menceritakan tentang semua anggota keluarganya, sifat, maupun fisik mereka. Ia bercerita tentang kakaknya yang menikah pada umur 19 tahun dengan pegawai negeri, dan lain-lain.

Pokok persoalan dalam cerita ini yaitu bahwa Sri, sebagai tokoh utama selalu terlihat sendiri, karena dia memang penyendiri, dan tidak berbicara banyak. Pada akhir unit 1, jelas bahwa Sri adalah seorang yang sangat mandiri, dia tidak melanjutkan studi nya ke perkuliahan, justru Sri mencari nafkah sendiri dengan mempunyai profesi sebagai penyiar radio.

Yang saya dapatkan setelah membaca unit 1 ini yaitu bahwa adat jawa masih dihargai oleh keluarga-keluarga. Cerita ini membuat saya sadar bahwa tidak ada ibu yang benci anaknya, walaupun ibunya tampak sangat cuek terhadap Sri, tetapi pada saat Sri membersihkan dan merawat kebun mereka, Ibunya berkata bahwa Sri tetap seperti Sria yang dulu, jarang berbicara. Kalimat ini membuktikan bahwa wakaupun ibunya cuek, tetapi Ia tetap memperhatikan Sri.

Published in: on September 15, 2009 at 4:35 am  Leave a Comment  

Pengarang Sastra Feminis

Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya. Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, sepertl komentar Putu Wijaya; ‘kebawelan yang panjang.’ Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra. NH Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936 dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. la anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul.” la mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan. Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api. Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya. Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. “Barangkali renungan dan khayalan itu yang membentuk perkembangan saya,” kata Dini. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar. Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk. Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejak itu, karyanya terus mengalir. Hingga kini, buku-bukunya mudah dijumpai di toko-toko buku. Beberapa karyanya yang menjadi percakapan luas adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Belum termasuk di dalamnya karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali – hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya. Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional. Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan. Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita. Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis. Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis. Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang. Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. “Setelah lima tahun diangkat, sudah lolos. Kandungan saya diangkat pada 1980. Ketika itu keluarga di sini tidak mau tanggung, takut kalau saya tidak bangun lagi,” kenangnya. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi. Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi. Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan. Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000. Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia, yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang. Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain. Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. “Saya tidak mau mengorbankan harga diri demi uang. Misalnya saya disuruh bikin biografi seseorang, dikasih bahan padahal bahan itu bayangan. Saya tolak, meski pada saat yang sama saya butuh uang,” jelasnya. la merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri. la juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. “Saya pikir, kalau tidak punya pekerjaan rutin, kreativitas dan daya cipta berkembang dan terus diasah,” kilahnya. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya. Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. “Saya spontan menuliskannya. Kalau sekarang saya disuruh membacakannya di depan umum, saya baca. Hal itu unsur kehidupan juga, seperti bernafas. Kenapa kalau bernafas tidak malu. Seks dalam bentuknya tersendiri adalah satu puisi,” ujarnya. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya. ►atur lorielcide *** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) URL: http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/n/nh-dini/index.shtml

Published in: on September 15, 2009 at 4:33 am  Leave a Comment  

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Published in: on September 15, 2009 at 1:54 am  Comments (1)